Saturday, May 16, 2015

KERIS KYAI CONDONG CAMPUR



KERIS KYAI CONDONG CAMPUR


Keris Kyai Condong Campur menurut pakem atau tangguh Jogjakarta, terang Mpu Harumbrodjo, memiliki Luk berjumlah lima. Terdapat kembang kacang, dua jalu memet dan dua lambe gajah. Pada wilah atau bilahnya terdapat  blumbangan  dan   sogokan. Sedangkan pamornya bisa berupa Tepen Beras Wutah atau lainnya. Dia menandaskan, pamor terbaik terbuat dari batu meteor yang jatuh dari angkasa. “Dulu, batu meteor itu diyakini sebagai pemberian para Dewa”, ujarnya.

Selain kualitasnya yang luarbiasa, lanjutnya, pamor batu meteor ini sungguh melambangkan kesadaran kosmis yang tinggi. Keris yang dibuat dengan bahan campuran berasal dari benda angkasa dan bumi, melambangkan bersatunya Bapa Akasa (unsur paternal) dan Ibu Pertiwi (unsur maternal). Maka, anak atau hasilnya menjadi sangat bertuah ampuh dan ber-guwaya atau berkharisma sangat kuat.



Seperti telah dipaparkan di atas, semua bagian keris mengandung makna. Mpu Harumbrodjo menerangkan, dhapur Condong Campur merupakan lambang persatuan, yang muncul di Majapahit sekitar abad 14. Disebut lambang persatuan, karena sengaja diciptakan sebagai lambang keinginan para Mpu untuk bersatu, dalam keberagaman di tengah semakin banyaknya etnis Tionghoa (pedagang) dan pesatnya perkembangan agama Islam yang ketika itu masih baru.

Sangat lumrah bila pada awal keberagaman itu terjadi gejolak. Apalagi, kedatangan Islam yang diawaki oleh para Sunan, tak kalah pula ampuhnya dalam menciptakan keris pusaka. Keinginan para Mpu inilah kemudian, yang menurut Mpu Harumbrodjo melahirkan keris berdhapur Condong Campur. Namun setiap pusaka ampuh buatan para Mpu zaman itu, selalu diminta oleh Prabu Brawijaya V untuk djadikan piandel kerajaan. Tidak terkecuali keris Kyai Condong Campur, yang menurut Mpu Harumbrodjo dibuat oleh Ki Joko Supa (Mpu Supa muda) dari besi pemberian kakak iparnya, Kanjeng Sunan Kalijaga. Dari sinilah kemudian terbetik kisah pertarungan keris Kyai Condong Campur melawan Kyai Sengkelat, yang telah banyak dikupas dalam sekian versi babad, berikut tafsir filosofinya.



Menurut Mbah Joyo Sumarto (80), ahli tosan aji Museum Rumah Budaya Tembi Jogjakarta, dengan sangat yakin mengatakan, keris Kyai Condong Campur hanyalah sanggit atau sanepo dari sebuah keadaan di suatu periode zaman Majapahit.Keadaan itu adalah keinginan untuk menyatukan kawula di tanah Jawa dalam keragaman budaya dan kepercayaan. Secara jelas mbah Joyo menerangkan, keris Kyai Condong Campur merupakan perlambang (sanepo) dari keinginan Sunan Kalijaga untuk menyatukan perbedaan. “Wujud persatuan itu adalah tata-cara agama Islam yang disesuaikan dengan tata laku orang Jawa. Jadi, Islam diterapkan bukan sebagai Islam Arab, tetapi Islam Jawa”, tutur mbah Joyo. Peristiwa dari adanya penyatuan, pembauran atau perpaduan budaya (akulturasi) yang dituturkan oleh mbah Joyo itulah sebenarnya maksud dan makna perlambang keris Kyai Condong Campur. Tegasnya, keris itu hanyalah semacam sanepo halus (eufemisme) atau perumpamaan, yang dikemas dalam sebuah cerita, dongeng atau babad oleh para Mpu atau pujangga, guna mencatat kiprah para leluhur di tanah Jawa. “Inilah kewaskitaan dan keluhuran budi para pujangga zaman dulu, dalam menerangkan hal-hal yang ketika itu masih sangat peka atau sensitif”, kata mbah Joyo.



Hal yang sama juga berlaku untuk keris Kyai Kalam Munyeng, yang konon tercipta dari kalam atau pena yang terbuat dari lidi aren, yang terlempar dari tangan Sunan Giri II karena terkejut oleh serangan Majapahit. Peristiwa pembongkaran makam Sunan Giri I oleh prajurit Majapahit yang kemudian memunculkan kisah jutaan lebah menghabisi prajurit Majapahit, menurut mbah Joyo adalah juga  sanepo.  Jutaan lebah itu merupakan perlambang bersatunya kawula atau rakyat Sunan Giri, yang jumlahnya melebihi jumlah pengikut setia Majapahit. Demikian pula kisah perjalanan Puntadewa dengan tongkat dan serat Jamus Kalimasada, dikatakan pula oleh mbah Joyo sebagai sanepo dari sebuah peristiwa. Berbagai kisah ini dikatakan oleh mbah Joyo sebagai sanepo halus dari adanya perang roso atau rasa (kepercayaan) pada zaman itu.

No comments:

Post a Comment